Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang semakin deras, nilai-nilai agama dan budaya lokal seringkali tergerus oleh gaya hidup instan. Namun, di antara hiruk-pikuk politik dan pembangunan, muncul sosok pemimpin yang berusaha menyeimbangkan keduanya — Kang Dedi Mulyadi. Ia dikenal bukan hanya sebagai tokoh politik, tetapi juga sebagai penjaga harmoni antara agama, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat Jawa Barat.
Dedi Mulyadi memahami bahwa pembangunan sejati tidak bisa hanya diukur dari infrastruktur, tapi juga dari kualitas batin dan karakter masyarakatnya. Dalam setiap langkahnya, ia selalu berusaha menggabungkan nilai-nilai religius dengan kearifan lokal Sunda, menciptakan gaya kepemimpinan yang unik dan menginspirasi banyak orang.
Bagi Dedi, agama dan budaya tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan memperkaya kehidupan sosial masyarakat. Ia sering menegaskan bahwa agama adalah fondasi moral, sementara budaya adalah cara manusia mengekspresikan nilai-nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap kegiatan sosial, Dedi selalu berusaha menghadirkan unsur budaya Sunda, seperti musik tradisional, pakaian adat, hingga penggunaan bahasa daerah. Namun, ia juga menyelipkan nilai-nilai keislaman yang kuat seperti kejujuran, kerja keras, dan kepedulian terhadap sesama.
Bagi Dedi, budaya adalah media dakwah yang lembut — cara untuk menyampaikan pesan moral tanpa menggurui. Ia sering menggunakan simbol-simbol budaya seperti wayang golek atau upacara adat sebagai sarana memperkuat pesan keagamaan dan kebangsaan.
Dedi juga percaya bahwa kearifan lokal adalah bagian dari spiritualitas masyarakat. Ia menolak anggapan bahwa budaya lokal bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, budaya bisa menjadi jalan untuk memperkuat keimanan, karena budaya lahir dari pengalaman hidup masyarakat yang berakar pada nilai-nilai moral dan ketuhanan. Dalam berbagai kesempatan, ia mencontohkan filosofi Sunda seperti silih asih, silih asah, silih asuh — saling menyayangi, saling mengasah, dan saling membimbing — yang sejalan dengan ajaran Islam tentang ukhuwah dan kasih sayang antar sesama manusia.
Dari sinilah muncul pemikiran Dedi bahwa agama tanpa budaya akan kehilangan akar, sementara budaya tanpa agama akan kehilangan arah. Maka keduanya harus berjalan beriringan dalam membangun peradaban yang beradab dan berkarakter.
Salah satu keunikan Dedi Mulyadi adalah kemampuannya menjadikan tradisi dan budaya sebagai media pendidikan moral. Ia menyadari bahwa ceramah dan peraturan saja tidak cukup untuk menanamkan nilai-nilai baik. Masyarakat perlu merasakan, melihat, dan hidup di dalam budaya yang membawa pesan kebaikan. Contohnya, Dedi sering mengadakan kegiatan budaya seperti ruwatan bumi, ngunjung ka leluhur, atau hajat lembur yang dikemas dengan nilai-nilai keislaman dan gotong royong.
Kegiatan ini bukan hanya melestarikan budaya, tapi juga menumbuhkan rasa syukur dan kepedulian terhadap sesama. Ia menilai bahwa anak muda perlu dikenalkan kembali pada akar budayanya agar tidak tercerabut dari identitas. Karena itu, Dedi mendorong sekolah-sekolah di Jawa Barat untuk mengintegrasikan pendidikan budaya lokal ke dalam kurikulum sebagai pelengkap pendidikan agama.
Selain kata-kata dan kebijakan, keteladanan Dedi Mulyadi juga tercermin dari gaya hidupnya. Ia tidak menonjolkan kemewahan meski memiliki jabatan penting. Rumahnya sederhana, dan ia sering terlihat berpakaian khas Sunda — baju pangsi, iket kepala, dan sandal jepit. Gaya hidup sederhana ini bukan sekadar citra, tapi bentuk nyata dari filosofi hidup yang ia yakini: bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari materi, melainkan dari sejauh mana ia memberi manfaat bagi orang lain.
Ia sering menekankan bahwa agama yang sejati adalah ketika kita mampu mengasihi dan membantu sesama manusia tanpa pamrih. Dalam banyak kegiatan sosialnya, Dedi juga menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap rakyat kecil. Ia tidak segan turun langsung membantu warga, mendengarkan keluhan mereka, bahkan ikut bekerja di sawah atau membantu memperbaiki rumah. Semua itu menjadi bagian dari cara dia “berdakwah” dengan perbuatan, bukan kata-kata.
Sebagai tokoh yang menghargai keberagaman, Dedi Mulyadi sering menjadi jembatan dialog antaragama dan budaya. Ia percaya bahwa konflik sering terjadi karena kesalahpahaman dan kurangnya komunikasi. Dalam banyak kesempatan, ia membuka ruang dialog antara tokoh agama, seniman, dan masyarakat lintas keyakinan. Ia berpendapat bahwa manusia harus dilihat bukan dari agamanya saja, tapi dari seberapa besar rasa kemanusiaannya. Karena bagi Dedi, nilai agama tertinggi adalah ketika seseorang bisa hidup damai, menghargai perbedaan, dan menebar manfaat bagi sesama.
Keseimbangan antara agama dan budaya juga terlihat dalam berbagai kebijakan yang Dedi buat saat menjabat di pemerintahan. Ia membangun taman budaya, ruang publik, dan sekolah yang mengajarkan karakter gotong royong. Program ekonomi kreatif berbasis budaya tradisional seperti kerajinan, pertanian, dan pariwisata lokal juga ia dorong kuat. Bahkan program lingkungan seperti menanam pohon dianggap bagian dari ibadah sosial.
Dalam berbagai pidatonya, Dedi sering menyebut bahwa ajaran Islam sangat sejalan dengan filosofi hidup orang Sunda. Misalnya nilai tepa salira (tenggang rasa), someah hade ka semah (ramah kepada tamu), dan gotong royong — semuanya sejalan dengan ajaran Islam tentang kasih sayang dan ukhuwah. Dengan cara itu, Dedi ingin agar ajaran agama tidak hanya berhenti di masjid, tapi hadir dalam kehidupan sehari-hari. Ia menolak gaya dakwah yang keras atau memecah belah, dan lebih memilih cara halus lewat budaya, humor, dan keteladanan.
Meski banyak diapresiasi, pendekatan Dedi juga tak lepas dari kritik. Ada yang menilai penggabungan budaya dan agama bisa menimbulkan salah tafsir. Namun Dedi menjawabnya tenang: “Saya hanya ingin mengembalikan manusia pada fitrahnya, bahwa budaya itu lahir dari kearifan, bukan dari kesesatan.” Ia meyakini bahwa selama budaya dijalankan dengan niat baik dan tidak bertentangan dengan nilai agama, maka budaya justru memperkuat keimanan.
Dedi Mulyadi bukan sekadar tokoh politik. Ia adalah pembawa semangat baru dalam memaknai hubungan antara agama dan budaya. Dengan kepemimpinan yang lembut, penuh empati, dan berakar kuat pada nilai-nilai lokal, ia membuktikan bahwa keberagaman bukan penghalang, melainkan kekuatan. Keseimbangan yang ia tunjukkan menjadi inspirasi bagi banyak orang — bahwa agama dan budaya bisa berjalan bersama, membentuk masyarakat yang religius tanpa kehilangan jati diri, dan modern tanpa meninggalkan akar tradisinya
Selama menjabat sebagai pemimpin di Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi dikenal sebagai tokoh yang tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur perkotaan, tetapi juga pada pemberdayaan desa. Baginya, desa adalah fondasi utama kehidupan sosial dan ekonomi bangsa. Ia percaya bahwa jika desa maju, maka kota tidak akan kewalahan, dan masyarakat akan hidup lebih mandiri.
Konsep “desa mandiri” yang digagas Dedi Mulyadi bukan sekadar slogan, melainkan gagasan nyata yang terbukti mampu mengubah wajah banyak wilayah di Jawa Barat. Prinsipnya sederhana: desa tidak boleh bergantung pada kota, tetapi harus menjadi kekuatan ekonomi yang berdiri di atas potensi lokalnya sendiri.
Dalam berbagai kesempatan, Dedi selalu menekankan bahwa pembangunan harus dimulai dari akar, yaitu masyarakat pedesaan. Ia menilai bahwa desa memiliki kekayaan yang luar biasa, baik dari sumber daya alam, tradisi, hingga sumber daya manusianya. Namun sayangnya, banyak desa yang tertinggal karena pola pembangunan yang terlalu sentralistik di perkotaan.
Untuk mengatasi itu, Dedi menggagas model pembangunan yang berbasis potensi lokal. Ia mengubah cara pandang masyarakat desa dari “penerima bantuan” menjadi “penggerak pembangunan”. Di tangan Dedi, masyarakat didorong untuk mandiri, kreatif, dan tidak malu dengan identitas desanya.
Salah satu langkah nyata yang ia lakukan adalah mengembangkan ekonomi kreatif desa. Ia mengajak warga untuk memanfaatkan sumber daya di sekitar mereka — hasil pertanian, kerajinan tangan, hingga pariwisata lokal — sebagai aset ekonomi. Dedi juga mencontohkan bagaimana desa bisa hidup dari budaya, seperti menggelar festival tradisional, lomba kesenian rakyat, dan pasar budaya yang menarik wisatawan.
Selain ekonomi, Dedi juga menaruh perhatian besar pada lingkungan dan tata ruang desa. Ia percaya bahwa kebersihan dan keindahan desa adalah simbol kesejahteraan. Dalam berbagai programnya, ia sering menanam pohon di pinggir jalan desa, mempercantik balai desa dengan ukiran khas Sunda, dan membangun taman-taman kecil sebagai ruang interaksi warga. Bagi Dedi, lingkungan yang asri bukan hanya memperindah pandangan, tetapi juga menumbuhkan semangat gotong royong dan kebanggaan masyarakat terhadap desanya sendiri.
Tak hanya itu, ia juga memperkuat pendidikan dan karakter masyarakat desa. Dedi mendorong anak-anak muda desa agar tidak meninggalkan tanah kelahirannya. Ia menanamkan semangat bahwa menjadi petani, pengrajin, atau pelaku seni lokal adalah profesi yang bermartabat. Ia sering berkata, “Jangan malu tinggal di desa, karena di sanalah kehidupan yang sesungguhnya.”
Di bawah kepemimpinannya, muncul berbagai inisiatif pembangunan berbasis masyarakat. Misalnya, program revitalisasi pasar tradisional agar lebih modern tapi tetap menjaga nuansa lokal. Ia juga mengembangkan desa wisata dengan konsep keberlanjutan, di mana setiap kegiatan pariwisata memperhatikan kelestarian lingkungan dan adat istiadat setempat.
Selain pembangunan fisik, Dedi juga menekankan pentingnya pembangunan moral dan budaya. Menurutnya, kemajuan desa tidak hanya diukur dari gedung atau jalan, tetapi dari perilaku masyarakatnya. Maka ia memperbanyak kegiatan sosial seperti pengajian, kerja bakti, dan festival budaya agar nilai-nilai kebersamaan tetap terjaga.
Transformasi desa yang ia rancang bukan hanya memajukan ekonomi, tapi juga membangun kemandirian sosial dan spiritual. Ia ingin agar masyarakat desa memiliki kepercayaan diri bahwa mereka mampu bersaing di era modern tanpa kehilangan identitas lokalnya. Dalam banyak pidatonya, Dedi sering menyebut, “Kalau kota sibuk dengan gedung tinggi, maka desa harus sibuk dengan nilai-nilai luhur.”
Bagi Dedi, kemandirian desa juga berarti mengurangi ketimpangan antara desa dan kota. Ia berpendapat bahwa selama desa masih bergantung penuh pada kota, kesejahteraan akan sulit merata. Karena itu, ia menciptakan berbagai program pelatihan keterampilan, koperasi desa, dan akses permodalan bagi usaha kecil. Semua dilakukan agar masyarakat desa punya kemampuan ekonomi sendiri.
Dedi juga mengajarkan prinsip efisiensi dan gotong royong. Ia mengajak masyarakat bekerja bersama membangun jalan, jembatan kecil, atau sarana air bersih tanpa harus selalu menunggu bantuan pemerintah pusat. Semangat inilah yang membuat banyak desa di bawah pembinaannya berubah menjadi wilayah yang mandiri dan produktif.
Konsep “desa mandiri” ala Dedi Mulyadi bukan sekadar pembangunan fisik, tapi transformasi cara berpikir. Ia mengajarkan bahwa desa bukan simbol keterbelakangan, melainkan sumber kekuatan moral dan budaya bangsa. Ia ingin masyarakat bangga dengan asal-usulnya, menghargai alam, dan terus mengembangkan potensi yang ada tanpa kehilangan akar tradisinya.
Kini, gagasan Dedi banyak dijadikan contoh oleh berbagai daerah di Indonesia. Banyak kepala desa yang meniru pendekatannya — mengedepankan kearifan lokal, gotong royong, dan pemberdayaan masyarakat. Ia telah membuktikan bahwa ketika desa diberi ruang untuk tumbuh, maka bangsa pun akan kuat dari bawah.
Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa pembangunan sejati bukan tentang beton dan baja, tapi tentang manusia dan nilai-nilai kehidupan. Ia telah mengubah paradigma bahwa kemajuan bukan milik kota saja, tapi juga hak setiap warga desa yang mau berjuang dan percaya pada kekuatan sendiri.