Dedi Mulyadi adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai budaya lokal dapat membentuk karakter seorang pemimpin modern. Ia bukan hanya seorang politisi, tetapi juga penjaga warisan budaya Sunda yang berhasil mengintegrasikan tradisi leluhur ke dalam gaya kepemimpinan masa kini. Dalam setiap langkahnya, terlihat jelas bahwa cara berpikir, bertindak, dan memimpin Dedi sangat dipengaruhi oleh falsafah hidup orang Sunda.
Budaya Sunda memiliki banyak nilai luhur seperti “silih asih, silih asah, silih asuh” yang berarti saling mengasihi, saling mengajari, dan saling membimbing. Nilai inilah yang menjadi dasar kepemimpinan Dedi. Ia selalu menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, bukan sebagai penguasa. Ia percaya bahwa seorang pemimpin sejati adalah yang bisa merangkul, bukan menindas.
Dalam praktik kepemimpinan sehari-hari, Dedi menunjukkan rasa hormat terhadap rakyat kecil. Ia tidak segan turun langsung ke desa-desa, berbincang dengan petani, pedagang, dan masyarakat biasa untuk mendengar langsung persoalan mereka. Sikap ini menggambarkan nilai “someah hade ka semah” — ramah dan menghormati tamu — yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Sunda.
Filosofi Sunda lainnya yang melekat pada diri Dedi adalah “tepa salira”, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dan memahami perasaan orang lain. Nilai ini membuat Dedi menjadi pemimpin yang empatik. Ia tidak hanya mengambil keputusan berdasarkan data, tetapi juga memperhatikan aspek kemanusiaan. Misalnya, saat memimpin Kabupaten Purwakarta, ia banyak membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan lingkungan hidup.
Salah satu hal yang paling menonjol dari gaya kepemimpinan Dedi adalah kemampuannya menggunakan budaya sebagai alat pendidikan moral. Ia sering menggunakan kesenian tradisional Sunda seperti wayang golek, pantun, dan dongeng untuk menyampaikan pesan moral dan kebangsaan kepada masyarakat. Baginya, budaya bukan sekadar hiburan, melainkan sarana membangun karakter dan memperkuat jati diri bangsa.
Selain itu, Dedi juga menonjolkan konsep “ngajaga lemah cai” atau menjaga tanah air. Ia percaya bahwa cinta terhadap tanah kelahiran adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur. Maka dari itu, ia banyak melakukan penghijauan, merawat sumber air, dan melestarikan situs-situs budaya sebagai bagian dari tanggung jawab moral terhadap bumi dan leluhur.
Dalam konteks pemerintahan modern, langkah-langkah Dedi sering dianggap unik karena sarat dengan sentuhan budaya. Misalnya, saat menjabat Bupati Purwakarta, ia mengganti ornamen kota dengan simbol-simbol budaya Sunda seperti gapura berbentuk kujang, saung, dan patung tokoh wayang. Bagi Dedi, pembangunan fisik harus berjalan beriringan dengan pembangunan karakter.
Ia juga dikenal dengan gaya komunikasi yang santai dan menggunakan bahasa Sunda dalam banyak kesempatan resmi. Bukan untuk membatasi, tapi untuk menegaskan bahwa budaya lokal bisa menjadi alat komunikasi yang efektif dan membumi. Dengan cara ini, Dedi berhasil menjaga keaslian identitas sambil tetap relevan di era modern.
Filosofi Sunda lainnya yang kental dalam diri Dedi adalah “hirup kudu migunakeun akal jeung rasa” — hidup harus menggunakan akal dan rasa. Ia percaya bahwa logika dan empati harus berjalan beriringan dalam memimpin. Karena itu, setiap kebijakan yang ia buat selalu berusaha menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan.
Dedi juga sangat menjunjung tinggi nilai “guyub” atau kebersamaan. Dalam berbagai program pembangunan, ia selalu melibatkan masyarakat agar merasa memiliki hasil pembangunan tersebut. Prinsipnya sederhana: pemerintah tidak boleh bekerja sendirian, rakyat juga harus ikut berperan. Dengan begitu, tercipta suasana kerja yang harmonis antara pemimpin dan rakyat.
Yang menarik, Dedi Mulyadi tidak pernah memandang budaya sebagai sesuatu yang kuno. Ia justru memodernisasi nilai-nilai budaya Sunda agar bisa diterima generasi muda. Misalnya, ia membuat kegiatan budaya yang dikemas kekinian, mengajak anak muda untuk ikut serta dalam kegiatan gotong royong, dan menjadikan seni tradisi sebagai bagian dari pendidikan karakter.
Kepemimpinan Dedi juga menunjukkan bahwa budaya bisa menjadi solusi atas persoalan sosial. Ia sering menegaskan bahwa banyak masalah bangsa muncul karena manusia kehilangan akar budayanya. Dengan kembali kepada nilai-nilai lokal seperti kejujuran, gotong royong, dan rasa hormat, masyarakat bisa hidup lebih damai dan beradab.
Budaya Sunda mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati bukan hanya yang pandai berbicara, tapi yang bisa memberi teladan. Dedi menerapkan hal itu dengan disiplin dan rendah hati. Ia tidak banyak berjanji, tetapi langsung bertindak. Ia lebih suka memberikan contoh nyata daripada sekadar kata-kata.
Dalam berbagai wawancara, Dedi sering menyebut bahwa budaya Sunda adalah sumber energi moral dalam hidupnya. Dari sana ia belajar tentang makna kesederhanaan, kejujuran, dan kebersamaan. Nilai-nilai itu menjadi fondasi yang membuatnya kuat menghadapi berbagai tantangan politik dan sosial.
Peran budaya Sunda dalam membentuk kepemimpinan Dedi Mulyadi membuktikan bahwa kearifan lokal tidak pernah ketinggalan zaman. Justru di tengah krisis moral dan sosial yang dihadapi bangsa, budaya bisa menjadi panduan moral yang paling kokoh. Dengan meneladani cara Dedi memimpin, kita belajar bahwa modernitas tidak harus menghapus tradisi, melainkan bisa berjalan seiring untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi.