Pendahuluan
Dalam setiap langkahnya sebagai pemimpin, Kang Dedi Mulyadi selalu menanamkan nilai gotong royong sebagai dasar pembangunan. Bagi Dedi, pembangunan bukan sekadar proyek fisik, melainkan pergerakan sosial yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Ia percaya bahwa jika rakyat dilibatkan dan dihargai, maka kemajuan bisa tercapai dengan cara yang bermartabat dan berkelanjutan.
Gotong Royong Sebagai Warisan Leluhur
Bagi masyarakat Sunda, gotong royong atau “sabilulungan” adalah ruh kehidupan sosial. Nilai ini tertanam dalam budaya dan menjadi identitas masyarakat desa yang saling membantu tanpa pamrih. Kang Dedi memahami betul filosofi ini, dan menjadikannya dasar dalam setiap kebijakan yang ia buat.
Ia sering mengatakan, “pembangunan bukan hanya soal pemerintah bekerja, tapi bagaimana masyarakat ikut berperan aktif.” Karena itu, dalam masa kepemimpinannya, ia selalu mengajak masyarakat ikut terlibat langsung — mulai dari membersihkan lingkungan, memperbaiki jalan, hingga membangun fasilitas publik.
Kebijakan yang Mendorong Partisipasi Warga
Salah satu ciri khas dari kepemimpinan Dedi Mulyadi adalah cara ia memberdayakan masyarakat. Ia tidak membiarkan warga hanya menjadi penonton pembangunan, tapi menjadikan mereka pelaku utama.
Misalnya, ketika membangun taman kota atau fasilitas umum, ia melibatkan warga sekitar untuk berkontribusi — baik tenaga, bahan, maupun ide. Selain menghemat anggaran, cara ini juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap hasil pembangunan. Warga merasa bangga karena ikut menciptakan perubahan di lingkungannya sendiri.
Menghidupkan Kembali Nilai Sosial di Tengah Modernitas
Di tengah era modern yang serba individualistis, semangat gotong royong sering kali mulai luntur. Namun, Dedi Mulyadi justru menghidupkan kembali nilai-nilai sosial ini melalui berbagai program kultural dan kegiatan masyarakat.
Ia rutin mengadakan kegiatan bersama seperti kerja bakti, bersih-bersih desa, atau festival budaya yang melibatkan warga dari berbagai lapisan. Dalam setiap kegiatan, ia selalu menekankan pentingnya kebersamaan dan solidaritas antarwarga. Ia ingin agar masyarakat Purwakarta tidak kehilangan akar budayanya di tengah kemajuan zaman.
Gotong Royong dalam Penanganan Sosial dan Lingkungan
Nilai gotong royong juga terlihat dalam pendekatan Dedi Mulyadi terhadap masalah sosial dan lingkungan. Ia lebih memilih solusi berbasis komunitas daripada sekadar bantuan top-down dari pemerintah.
Misalnya, dalam menangani masalah sampah, ia mendorong terbentuknya kelompok masyarakat peduli lingkungan yang bertugas mengelola sampah di tingkat RT atau RW. Hasilnya, masyarakat tidak hanya bergantung pada pemerintah, tapi juga punya kesadaran kolektif untuk menjaga kebersihan lingkungannya.
Membangun dengan Hati, Bukan Sekadar Anggaran
Dedi Mulyadi sering menyampaikan bahwa pembangunan tidak harus selalu mahal, asalkan dilakukan dengan hati dan kebersamaan. Ia mencontohkan banyak proyek di Purwakarta yang berhasil bukan karena besar anggarannya, tapi karena besar semangat gotong royongnya.
Ketika masyarakat bersatu, pekerjaan berat pun terasa ringan. Dengan prinsip inilah, ia berhasil membangun berbagai fasilitas publik — taman, jalan, dan ruang terbuka hijau — yang bukan hanya indah secara fisik, tetapi juga menyatukan warga dalam satu semangat kebersamaan.
Keteladanan Seorang Pemimpin yang Turun Langsung ke Lapangan
Hal lain yang membuat sosok Dedi Mulyadi begitu dihormati adalah karena ia tidak hanya memerintah dari balik meja, tetapi turun langsung ke lapangan. Ia bekerja bersama warga, ikut mengangkat batu, membersihkan sungai, bahkan tidur di rumah masyarakat saat kunjungan desa.
Gaya kepemimpinan seperti ini membuat rakyat merasa dihargai dan tergerak untuk ikut berpartisipasi. Ia menjadi contoh bahwa pemimpin sejati bukan hanya yang bisa memberi perintah, tetapi yang mampu memberi teladan dan menumbuhkan semangat kebersamaan.
Kesimpulan
Melalui nilai gotong royong, Kang Dedi Mulyadi telah membuktikan bahwa pembangunan yang berkelanjutan hanya bisa terwujud jika dilakukan bersama rakyat. Ia bukan hanya membangun infrastruktur, tapi juga membangun karakter masyarakat yang peduli dan saling membantu.
Dalam pandangannya, pembangunan tanpa gotong royong adalah bangunan tanpa jiwa. Karena sejatinya, kekuatan terbesar sebuah daerah bukan terletak pada anggarannya, melainkan pada warganya yang mau bergandengan tangan untuk maju bersama.