Pendahuluan
Dalam dunia pemerintahan modern yang serba cepat, banyak pemimpin yang mengandalkan teknologi dan kebijakan global tanpa menyesuaikannya dengan budaya setempat. Namun, Kang Dedi Mulyadi tampil berbeda. Ia percaya bahwa kemajuan sejati hanya bisa dicapai jika pembangunan dilakukan berdasarkan kearifan lokal, nilai-nilai budaya, serta karakter masyarakatnya sendiri.
Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Tradisi Sunda
Bagi Dedi Mulyadi, budaya Sunda bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan panduan moral dan sosial dalam menjalankan pemerintahan. Ia sering mengutip filosofi “silih asah, silih asih, silih asuh” — saling mengasah, saling mengasihi, dan saling membimbing — sebagai dasar hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Dengan cara itu, kebijakan tidak terasa seperti perintah dari atas, melainkan bentuk kasih sayang dan tanggung jawab bersama. Ia juga gemar mengenalkan kembali tradisi adat seperti upacara mapag sri, seren taun, dan bentuk kesenian rakyat untuk menjaga identitas budaya di tengah arus modernisasi.
Pembangunan yang Tidak Merusak Alam
Kearifan lokal bagi Kang Dedi juga berarti menghormati alam sebagai bagian dari kehidupan. Ia menolak model pembangunan yang mengeksploitasi alam secara berlebihan. Dalam berbagai pidato, ia sering menegaskan bahwa manusia bukan penguasa bumi, melainkan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya.
Contohnya, dalam penataan wilayah Purwakarta, ia banyak menggunakan bahan alami seperti batu, kayu, dan bambu. Taman-taman kota dibangun dengan konsep ekologi lokal, bukan betonisasi total. Bahkan, ia menanam pohon di sepanjang jalan dan area publik sebagai simbol cinta terhadap bumi.
Menggabungkan Modernitas dan Tradisi
Salah satu keunikan Dedi Mulyadi adalah kemampuannya menggabungkan modernitas dengan budaya tradisional. Ia tidak menolak kemajuan teknologi, tetapi menggunakannya untuk memperkuat nilai budaya. Misalnya, ia memanfaatkan media digital untuk mempromosikan kesenian daerah dan tradisi lokal agar dikenal luas, terutama oleh generasi muda.
Di tangan Dedi, kearifan lokal bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan identitas yang relevan di masa kini. Ia membuktikan bahwa budaya bisa berjalan seiring dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan makna aslinya.
Program Pembangunan Berbasis Budaya
Banyak program Dedi Mulyadi yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya adalah pembangunan taman tematik dengan konsep Sunda, seperti Taman Air Mancur Sri Baduga yang memadukan seni, sejarah, dan hiburan modern.
Selain itu, ia juga membangun patung dan gapura bernuansa budaya di setiap pintu masuk Purwakarta. Bagi Dedi, patung bukan sekadar hiasan, tapi simbol penghormatan kepada leluhur dan pengingat bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan nilai-nilai baik dari masa lalu.
Kearifan Lokal dalam Pendidikan dan Sosial
Dalam bidang pendidikan, Dedi Mulyadi mendorong sekolah-sekolah agar menanamkan pendidikan karakter berbasis budaya lokal. Ia percaya bahwa anak-anak yang mengenal budayanya akan tumbuh menjadi generasi yang berakar kuat dan tidak mudah kehilangan jati diri.
Selain itu, ia juga mendukung kegiatan sosial yang menghidupkan tradisi gotong royong, seperti sedekah bumi, bersih desa, dan kerja bakti. Bagi Dedi, kegiatan seperti itu adalah bentuk nyata pendidikan sosial yang tidak diajarkan di sekolah formal.
Mengajarkan Cinta pada Tanah Kelahiran
Dedi Mulyadi sering mengatakan bahwa mencintai budaya lokal berarti mencintai tanah air. Ia menolak pandangan yang menganggap tradisi sebagai penghambat kemajuan. Sebaliknya, ia melihat budaya sebagai sumber inspirasi dan solusi bagi banyak persoalan sosial.
Dengan mengenalkan kembali filosofi hidup masyarakat Sunda, ia ingin agar masyarakat lebih mencintai lingkungannya, menghormati alam, dan menjaga hubungan sosial yang harmonis.
Kesimpulan
Kang Dedi Mulyadi berhasil membuktikan bahwa pembangunan tidak harus meniru negara lain. Dengan berpegang pada kearifan lokal, ia menciptakan model pembangunan yang lebih manusiawi, berakar kuat, dan berkelanjutan.
Ia mengajarkan bahwa kebudayaan bukan penghambat kemajuan, tetapi pondasi yang membuat kemajuan itu bermakna. Melalui langkah-langkahnya, Dedi Mulyadi menjadi contoh nyata bahwa pemimpin sejati bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun jati diri bangsa.