Dedi Mulyadi dikenal sebagai sosok pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga sederhana dalam sikap dan gaya hidup. Di tengah zaman modern yang serba materialistis, ia hadir dengan teladan bahwa kesederhanaan bukan tanda kekurangan, melainkan wujud kecerdasan dan kebijaksanaan hidup.
Sejak awal kariernya di dunia politik, Dedi selalu tampil apa adanya. Ia lebih sering memakai pakaian tradisional Sunda seperti iket kepala (totopong) dan baju kampret putih daripada jas resmi. Baginya, pakaian bukan untuk pamer status, tapi cerminan identitas budaya. Kesederhanaannya ini bukan pencitraan, melainkan bentuk konsistensi dalam hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ia yakini.
Dalam berbagai kesempatan, Dedi sering mengingatkan generasi muda untuk tidak terjebak pada gaya hidup konsumtif. Menurutnya, banyak anak muda sekarang berlomba-lomba mengejar penampilan luar — pakaian mahal, gadget terbaru, dan citra di media sosial — tanpa memikirkan nilai kerja keras di baliknya. Padahal, kata Dedi, “Orang besar bukan yang kelihatan kaya, tapi yang bisa memberi manfaat.”
Kesederhanaan Dedi juga terlihat dari cara ia berinteraksi dengan masyarakat. Ia tidak segan duduk lesehan bersama rakyat, makan di warung sederhana, bahkan tidur di rumah warga saat kunjungan desa. Sikap ini membuatnya dekat dengan masyarakat dan dihormati bukan karena jabatan, tapi karena keikhlasan. Ia selalu menempatkan diri sebagai bagian dari rakyat, bukan di atas rakyat.
Selain itu, Dedi memiliki pandangan mendalam tentang makna kekayaan. Baginya, kekayaan sejati bukan terletak pada harta, tetapi pada rasa cukup dan kemampuan berbagi. “Orang miskin itu bukan yang tak punya uang, tapi yang tak pernah merasa cukup,” ujarnya. Filosofi ini membuat banyak orang terinspirasi untuk hidup lebih sederhana dan bersyukur dengan apa yang dimiliki.
Kesederhanaan juga menjadi bagian dari strategi kepemimpinannya. Dalam mengelola pemerintahan, Dedi selalu menekankan efisiensi dan transparansi. Ia menolak pemborosan anggaran untuk hal-hal seremonial dan lebih memilih mengalokasikan dana ke program yang langsung menyentuh masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi desa.
Gaya hidup sederhana Dedi Mulyadi tidak membuatnya lemah, justru membuatnya kuat. Ia percaya bahwa dengan hidup sederhana, seseorang bisa fokus pada hal-hal penting dalam hidup: bekerja keras, berbuat baik, dan menjaga hubungan dengan sesama serta alam. Prinsip inilah yang membuat Dedi selalu tampak tenang, rendah hati, dan berwibawa tanpa harus menunjukkan kemewahan.
Dedi juga kerap mengajarkan bahwa kesederhanaan bukan berarti pasrah atau malas berkembang. Ia menegaskan bahwa sederhana harus disertai kerja keras dan tanggung jawab. “Sederhana itu bukan hidup seadanya, tapi hidup dengan penuh kesadaran,” katanya dalam sebuah wawancara. Artinya, seseorang tetap boleh sukses dan kaya, asalkan tidak sombong dan tetap membumi.
Dalam dunia pendidikan dan sosial, Dedi berupaya menanamkan nilai kesederhanaan kepada anak-anak dan pelajar. Ia sering memberi contoh bahwa pemimpin sejati tidak perlu bergantung pada simbol kemewahan. Ia ingin generasi muda tumbuh dengan mental kuat, tidak mudah iri, dan selalu menghargai proses perjuangan.
Kesederhanaan Dedi juga tercermin dari cara ia menghormati alam. Ia percaya bahwa hidup selaras dengan alam adalah bentuk kesederhanaan tertinggi. Karena itu, ia selalu mendorong masyarakat untuk tidak merusak lingkungan demi kepentingan pribadi. “Kalau kita hidup sederhana, alam pun ikut tenang,” ujarnya dalam salah satu acara lingkungan.
Filosofi hidupnya mengingatkan bahwa kemajuan tidak harus menghapus nilai-nilai kesederhanaan. Dalam dunia serba cepat seperti sekarang, banyak orang kehilangan arah karena terlalu fokus pada pencapaian materi. Dedi hadir untuk mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati justru datang dari hati yang tenang, bukan dari barang yang mewah.
Kesederhanaan juga membuat Dedi menjadi pribadi yang mudah diterima di berbagai kalangan. Baik di desa maupun kota, orang melihatnya sebagai sosok yang jujur, terbuka, dan apa adanya. Hal itu membuktikan bahwa kesederhanaan adalah bahasa universal yang bisa menyentuh hati siapa saja.
Pada akhirnya, Dedi Mulyadi memberi contoh bahwa hidup sederhana adalah bentuk keberanian — berani melawan arus dunia yang penuh kepalsuan. Ia menunjukkan bahwa seseorang bisa dihormati tanpa perlu memamerkan kemewahan, bisa berpengaruh tanpa kehilangan kerendahan hati, dan bisa sukses tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Filosofi kesederhanaan Dedi Mulyadi bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menjadi cermin bagi generasi muda agar tidak kehilangan jati diri di tengah modernisasi. Dengan meneladani gaya hidupnya, anak muda diharapkan bisa tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, rendah hati, dan berorientasi pada manfaat, bukan kemewahan.