Pendahuluan
Di dunia politik Indonesia, muncul tokoh-tokoh yang tidak hanya dikenal di kota besar, tetapi juga sangat populer di desa-desa, di pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan. Salah satu dari mereka adalah Dedi Mulyadi, akrab disapa Kang Dedi atau KDM. Gaya kepemimpinannya yang populis, dekat dengan rakyat, dan komunikasinya yang menggunakan budaya lokal membuat namanya semakin melekat di hati masyarakat Jawa Barat terutama di pedesaan. Artikel ini akan membahas bagaimana Dedi Mulyadi menjadi sosok yang populer di desa, apa kekuatan dan tantangannya, serta bagaimana ia membangun basis dukungan kuat dari akar rumput.Latar Belakang: Siapakah Dedi Mulyadi?
Untuk memahami kenapa Dedi Mulyadi begitu populer di pedesaan, penting mengetahui latar belakangnya:
Kelahiran & Asal Usul: Dedi Mulyadi lahir pada 11 April 1971 di Kampung Sukadaya, Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Karier Politik: Ia pernah menjabat sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode (2008-2018), anggota DPR RI, kemudian terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2025-2030.
Perpindahan Partai: Dulu dari Partai Golkar, kemudian pindah ke Gerindra sebelum memenangkan Pilgub Jawa Barat 2024Latar belakang dari desa & budaya Sunda, serta pengalaman di pemerintahan lokal (sebagai Bupati) membuat Dedi tidak asing dengan realitas di pedesaan, dari segi sosial, budaya, kebutuhan, dan aspirasi warga.
Gaya Kepemimpinan Populis: Apa Artinya?
“Populis” sering dipakai sebagai label baik positif maupun negatif. Dalam konteks Dedi Mulyadi, gaya populisnya mencakup:
Kedekatan fisik dan emosional: Dedi kerap turun langsung ke masyarakat—memantau pasar, sungai, pemukiman kumuh, dan mendengarkan keluhan wargaKomunikasi yang sederhana dan lokal: Menggunakan bahasa Sunda, simbol dan budaya lokal, serta narasi yang dapat mudah dipahami di desa. Masyarakat merasa “bahasa sama”, “budaya sama
Penggunaan media sosial dan konten digital: Dedi aktif membuat konten di YouTube, Instagram, TikTok, Facebook, dsb. Video-kegiatannya yang memperlihatkan dirinya bekerja, membantu warga, membersihkan sungai, ikut turun ke lapangan sering viral.
Kebijakan yang “nampak real” di akar rumput: Contohnya penghapusan biaya tak terduga di sekolah (study tour), pelatihan disiplin militer untuk pelajar bermasalah, kebijakan jam malam pelajar – meskipun kontroversial – dianggapsebagai respons terhadap harapan masyarakat akan ketertiban, keamanan, dan keadilan
Gaya populis yang diterapkan Dedi bukan hanya “pencitraan kosong” menurut banyak pengamat, karena masyarakat desa merasakan dampaknya langsung. Namun demikian, selalu ada kritik bahwa beberapa kebijakan mungkin terlalu dramatik atau kurang persiapan matangMengakar Kuat di Pedesaan: Kenapa Bisa?
Beberapa faktor membuat gaya populis Dedi Mulyadi benar-benar “mengakar kuat” di pedesaan:
Kesadaran Budaya Lokal
Dedi berasal dari desa dan sangat memahami adat, bahasa, dan cara komunikasi rakyat desa. Ia memakai budaya Sunda sebagai identitas dan sebagai medium komunikasi politiknya. Ini membuat warga desa merasa dihargai, tidak diabaikan oleh pemimpin.Responsivitas terhadap Keluhan Rakyat
Kebijakan-kebijakannya yang secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat kecil – seperti pengurangan atau penghapusan biaya sekolah yang mendadak, atau intervensi ke lingkungan dan infrastruktur pedesaan – membuat kepercayaan tumbuh.Transparansi dan “Kelihatan Kerjanya”
Di era digital, kalau seorang pemimpin tidak terlihat bekerja, rakyat sering curiga. Dedi memanfaatkan media sosial agar aktivitasnya di lapangan terlihat, dibagikan, viral. Banyak video-kegiatan yang memperlihatkan bahwa dia turun ke desa, membersihkan lingkungan, berbicara langsung dengan warga. Hal ini meningkatkan rasa kedekatan dan kepercayaan.Survei & Dukungan Publik yang Tinggi
Beberapa survei menunjukkan tingkat kepuasan warga terhadap kinerjanya sangat tinggi, khususnya di Jawa Barat. Dalam 100 hari pertama sebagai Gubernur, misalnya, ia menorehkan tingkat kepuasan yang paling tinggi dibanding gubernur lain di Pulau JawaContoh Kebijakan yang Mengakar di Pedesaan
Berikut adalah beberapa kebijakan/aksi konkret yang memperlihatkan bagaimana Dedi Mulyadi menancapkan pengaruhnya di rural atau desa:
Hapus biaya tak terduga di sekolah: Salah satu kebijakan awal yang sangat dirasakan oleh orang tua di desa adalah penghapusan biaya-biaya mendadak seperti study tour yang sering jadi beban orang tua berkecukupan rendah.
Interaksi langsung di lapangan: Turun ke pasar, sungai, pemukiman kumuh, bahkan terlibat dalam kegiatan bersih-bersih sungai. Ini bukan hanya simbolik, tapi juga membuat warga desa benar-benar melihat bahwa pemimpin mereka peduli terhadap lingkungan dan masalah lokal.
Kebijakan pelatihan disiplin militer bagi siswa “bandel”: Meski kontroversial, kebijakan ini menunjukkan bahwa Dedi mencoba menangani masalah ketidakdisiplinan di kalangan pelajar dengan pendekatan yang cukup “keras”, yang menuruContoh rut sebagian orang desa dianggap tepat.
Pemberdayaan dan bantuan langsung: Kegiatan bantuan sosial, mendukung usaha mikro, memperhatikan pedagang kecil, dan kunjungan ke dusun terpencil menjadi rutin. Semua ini memperkuat narasi bahwa Dedi Mulyadi adalah pemimpin rakyat (wong cilik).
Kelebihan dan Keunggulan
Dari gaya dan kebijakan di atas, beberapa kelebihan yang dimiliki Dedi Mulyadi dalam konteks desa/pedesaan:
Kepercayaan masyarakat yang kuat: Saat pemimpin turun langsung dan mendengarkan warga, kepercayaan tumbuh. Ini modal politik yang sulit dibuat dengan hanya kalkulasi politik atau anggaran besar.
Konektivitas budaya dan lokalitas: Dengan bahasa lokal, adat, penggunaan simbol budaya, warga desa merasa diperhatikan identitasnya, tidak diperlakukan sebagai “bagian terbelakang” tetapi sebagai bagian dari rakyat yang berharga.
Pengaruh media sosial: Era digital memungkinkan pesan, aksi, dan kebijakan dia dilihat oleh publik luas, termasuk desa. Viralitas bisa memperkuat citra positif dan menyebarkan nama lebih cepat.
Persepsi bahwa ia “memihak rakyat kecil”: Kebijakan-kebijakan pro rakyat, penghapusan biaya mendadak, bantuan sosial, kebijakan pendidikan – semua ini memperkuat narasi bahwa Dedi Mulyadi adalah pemimpin untuk rakyat kecil, bukan elit.
Tantangan dan Kritik
Meski banyak kelebihan, gaya populis yang mengakar kuat di pedesaan juga punya tantangan:
Resistensi dari Otonomi Daerah Lokal
Beberapa kepala daerah kabupaten/kota menolak kebijakan tertentu dari provinsi, misalnya tentang larangan study tour. Mereka menganggap kebijakan tersebut terlalu “top down” dan kurang fleksibel berdasarkan kondisi lokal.
kppod.org
Kebijakan Kontroversial
Kebijakan pelatihan militer bagi pelajar bandel, atau pengaturan KB sebagai syarat menerima bantuan sosial yang dianggap kontroversial oleh sebagian masyarakat dan lembaga pengawas.
Kritik bahwa beberapa aksi hanyalah pencitraan
Ada yang menilai konten-konten media sosialnya adalah “show off”, dramatik, dan lebih menekankan citra dibanding substansi. Meskipun demikian, banyak juga yang berpendapat bahwa meskipun dramatis, manfaatnya nyata dirasakan.
Suaralampung.id
+1
Kebutuhan untuk memastikan keberlanjutan dan keefektifan kebijakan
Salah satu tantangan terbesar adalah agar kebijakan populis itu tidak hanya populer secara citra, tetapi juga mampu diimplementasikan dengan kualitas, tepat sasaran, dan berkelanjutan. Desa-desa punya keterbatasan dalam sumber daya, infrastruktur, SDM, sehingga perlu adaptasi dan solusi lokal.
Dampak Sosial dan Politik di Pedesaan
Populisme Dedi Mulyadi bukan hanya soal popularitas; ia membawa dampak nyata di pedesaan:
Peningkatan aspirasi warga desa: Warga merasa suaranya didengar, lebih percaya kepada pemerintah, lebih aktif melapor atau ikut serta dalam pembangunan.
Penguatan identitas lokal: Budaya lokal jadi aspek yang tidak diabaikan. Bahasa Sunda, adat, nilai budaya desa menjadi bagian dari kebijakan publik dan komunikasi politik. Ini memperkuat rasa bangga terhadap lokalitas.
Mobilisasi politik: Karena rasa kepercayaan dan kedekatan tersebut, basis dukungan politiknya di desa kuat. Pilkada, pemilu, survei menunjukkan angka dukungan yang tinggi di kabupaten/kabupaten yang banyak desa.
Ekspektasi tinggi: Ketika pemimpin sangat populer dan dicintai di desa, ekspektasi masyarakat pun melonjak. Mereka akan mengukur, apakah setiap janji dipenuhi, apakah desa betul-betul diperhatikan dalam hal infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Apakah Gaya Populis Selalu Baik?
Tidak selalu. Berikut beberapa refleksi kritis:
Populisme bisa membawa keputusan yang cepat dan populer, tetapi belum tentu terbaik dalam jangka panjang.
Kadang kebijakan dibuat dengan pertimbangan citra dulu, struktur institusi dan regulasi administratifnya belum siap.
Konflik antara kebijakan populis dan hukum atau peraturan lokal bisa muncul, terutama jika satu kebijakan provinsi dipaksakan secara umum ke kabupaten/kota yang kondisinya berbeda.
Risiko politisasi budaya dan simbol lokal; nilaDedi Mulyadi adalah contoh nyata pemimpin populis yang mengakar kuat di pedesaan. Dari latar belakang desa, komunikasi berbasis budaya lokal, kehadiran langsung di lapangan, dan kebijakan-yang menyentuh kehidupan rakyat kecil, semua ini membuat ia bukan hanya dikenal, tetapi dipercaya dan diharapkan oleh masyarakat desa
Kalau Anda tertarik mengikuti perkembangan gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi, aksi-aksinya, serta kebijakan-yang benar-benar menyentuh kehidupan sehari-hari di desa dan kota:
Follow akun sosial media resminya: @dedimulyadi71@fans KDM32@_kangdedimulyadi.com
lihat artikel lainya
https://kangdedimulyadi.com/studi-kasus-pahlawan-lingkungan-ala-kang-dedi-mulyadi/