Pendahuluan
Ketika banyak pemimpin berbicara tentang pembangunan dalam ukuran ekonomi dan infrastruktur, Dedi Mulyadi justru menempatkan alam sebagai pusat dari seluruh kebijakan publik. Baginya, pembangunan sejati adalah ketika manusia hidup selaras dengan lingkungan. Ia tidak hanya menanam pohon, tapi juga menanam kesadaran. Itulah sebabnya, filosofi “pembangunan hijau” selalu menjadi napas di setiap langkah politiknya.
Filosofi Alam sebagai Guru
Dedi kerap menyebut bahwa alam adalah guru kehidupan. Pohon, air, batu, dan hewan memiliki nilai spiritual yang harus dihormati. Dalam berbagai pidato, ia sering menekankan bahwa manusia tidak lebih tinggi dari alam, melainkan bagian darinya. Karena itu, merusak alam sama saja dengan melukai diri sendiri. Ia mengajarkan masyarakat untuk melihat pohon bukan sekadar benda, tapi makhluk hidup yang menjaga keseimbangan dunia.
Mengubah Cara Pandang Pembangunan
Ketika menjabat di Purwakarta, Dedi menolak konsep pembangunan yang hanya berorientasi pada beton dan aspal. Ia menggagas taman-taman kota yang rindang, jalur hijau, dan tempat publik yang memadukan fungsi sosial serta ekologi. Ia ingin menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan alam. Bagi Dedi, kemajuan tanpa keseimbangan dengan lingkungan hanya akan membawa kehancuran jangka panjang.
Menanam Pohon Sebagai Gerakan Spiritual
Dedi Mulyadi tidak sekadar membuat program penghijauan formalitas. Ia menanam pohon dengan makna. Ia mengajak warga untuk menanam pohon setiap kali ada peringatan penting, kelahiran, bahkan kematian. Filosofinya sederhana: hidup dimulai dan berakhir bersama alam. Setiap pohon yang tumbuh adalah doa agar manusia tidak lupa pada asalnya.
Kebijakan Pro-Lingkungan di Purwakarta
Selama kepemimpinannya, banyak kebijakan yang berorientasi pada kelestarian alam. Ia menata sungai agar bersih dan bisa menjadi sumber kehidupan bagi warga, melarang penebangan liar, dan mengembangkan kawasan hijau di tengah kota. Ia juga mendorong penggunaan bahan lokal dan ramah lingkungan dalam pembangunan gedung pemerintahan. Semua itu dilakukan bukan untuk pencitraan, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap bumi yang menua.
Menghidupkan Kembali Budaya Ramah Alam
Sebagai tokoh Sunda, Dedi memahami betul filosofi leluhur yang menghormati alam. Ia sering mengangkat kearifan lokal seperti hutan larangan atau leuweung kolot — wilayah yang tak boleh diganggu karena menjadi sumber kehidupan bersama. Ia percaya, menjaga budaya berarti juga menjaga lingkungan. Dalam setiap kegiatan masyarakat, ia selalu menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam, sebagaimana yang diajarkan nenek moyang.
Edukasi Lingkungan Lewat Teladan
Dedi bukan tipe pemimpin yang hanya menyuruh. Ia memberi contoh. Ketika melihat tumpukan sampah di sungai, ia turun tangan langsung membersihkannya. Ketika menemukan lahan gundul, ia menanam sendiri bibit pohon di sana. Aksi kecil seperti itu menular ke masyarakat. Warga akhirnya mengikuti dengan kesadaran, bukan karena perintah. Inilah kekuatan utama Dedi: menggerakkan hati, bukan sekadar mengatur perilaku.
Mendorong Ekonomi Hijau
Selain menjaga alam, Dedi juga melihat potensi ekonomi dari pelestarian lingkungan. Ia mengembangkan konsep ekowisata di beberapa daerah, di mana keindahan alam dijaga sambil tetap menghasilkan pendapatan bagi warga. Ia juga mendukung UMKM yang menggunakan bahan alami dan daur ulang. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya mencintai alam secara emosional, tapi juga merasakan manfaat ekonominya.
Melawan Keserakahan yang Merusak Alam
Dedi sering mengkritik keras perilaku manusia modern yang terlalu serakah — menebang pohon tanpa menanam, membangun tanpa perhitungan, dan mengambil lebih dari yang dibutuhkan. Menurutnya, akar dari semua kerusakan lingkungan adalah ketamakan. Ia mengingatkan bahwa kekayaan sejati bukan berasal dari harta yang menumpuk, melainkan dari alam yang lestari. Karena itu, ia selalu menyerukan agar pembangunan dijalankan dengan rasa syukur, bukan nafsu.
Kesimpulan
Bagi Dedi Mulyadi, mencintai alam bukan pilihan, tapi kewajiban moral. Ia mengajarkan bahwa bumi adalah warisan suci yang harus dijaga, bukan dimiliki. Lewat tindakannya, ia memperlihatkan bahwa politik bisa menjadi alat untuk memulihkan hubungan manusia dengan alam. Di tengah zaman yang sibuk mengejar modernitas, Dedi mengingatkan bahwa kemajuan sejati justru lahir dari keseimbangan.
Ia bukan sekadar pemimpin yang membangun gedung, tetapi pemimpin yang menumbuhkan kehidupan. Filosofinya yang hijau menjadi warisan berharga untuk generasi mendatang — bahwa sebelum kita mencintai dunia, kita harus lebih dulu belajar mencintai bumi tempat kita berpijak. 🌿

