Dalam budaya Sunda, terdapat sebuah filosofi luhur yang disebut “Hirup Sauyunan”, yang berarti hidup dalam kebersamaan, saling mendukung, dan menjaga harmoni antara manusia, alam, serta budaya. Nilai inilah yang menjadi dasar pemikiran Dedi Mulyadi dalam menjalankan kepemimpinan dan kehidupannya sehari-hari. Baginya, hidup yang baik adalah hidup yang bermanfaat, selaras dengan alam, dan tidak melupakan akar budaya.
Sejak awal kariernya, Dedi sudah menempatkan nilai “Hirup Sauyunan” sebagai pedoman. Ia percaya bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri; semuanya saling terhubung. Alam memberi kehidupan, budaya memberi identitas, dan manusia memiliki kewajiban untuk menjaga keduanya. Prinsip inilah yang terlihat dalam setiap kebijakan dan tindakan Dedi, baik saat menjadi Bupati Purwakarta maupun ketika ia berkiprah di tingkat nasional.
Dalam konteks hubungan manusia dengan alam, Dedi selalu menekankan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab moral. Ia sering mengatakan bahwa “alam itu bukan warisan, tapi titipan.” Karena itu, ia banyak membuat kebijakan yang berorientasi pada kelestarian alam — dari penghijauan, pelestarian mata air, hingga program kebersihan dan taman kota yang asri.
Salah satu contoh nyatanya adalah gerakan penghijauan besar-besaran di Purwakarta yang ia gagas. Dedi menanam ribuan pohon dan membangun taman-taman tematik di berbagai sudut kota. Ia ingin masyarakat tidak hanya menikmati keindahan, tetapi juga memahami makna di baliknya — bahwa keseimbangan alam adalah bagian dari keseimbangan hidup manusia.
Selain dengan alam, Dedi juga menjaga hubungan harmonis antar manusia. Ia sering turun langsung ke masyarakat tanpa jarak, berbicara sederhana, dan menampung aspirasi rakyat kecil. Ia percaya bahwa setiap orang, tanpa memandang status sosial, memiliki peran penting dalam membangun kehidupan bersama. Filosofi “Hirup Sauyunan” mengajarkan bahwa kebersamaan lebih kuat daripada kekuasaan individu.
Budaya Sunda juga sangat menekankan nilai “silih asah, silih asih, silih asuh” — saling mengajari, mengasihi, dan membimbing. Dedi menerapkannya dalam kebijakan sosial dan pendidikan. Ia mendorong masyarakat untuk saling membantu, bukan saling menjatuhkan. Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa kemajuan daerah tidak hanya diukur dari pembangunan fisik, tetapi juga dari kekuatan solidaritas warganya.
Dalam hubungan dengan budaya, Dedi Mulyadi adalah sosok yang konsisten menjaga identitas Sunda di tengah arus globalisasi. Ia tidak ingin budaya leluhur hilang ditelan modernisasi. Karena itu, ia sering menggunakan kesenian tradisional seperti wayang golek, tari jaipong, dan musik gamelan sebagai media edukasi masyarakat. Menurutnya, budaya bukan sekadar hiburan, tapi juga sarana menanamkan nilai moral dan karakter bangsa.
Ia juga menjadikan identitas lokal sebagai bagian dari kebanggaan nasional. Misalnya, ia menghiasi ruang publik dengan ornamen khas Sunda seperti kujang, saung, dan patung tokoh wayang. Semua itu bukan sekadar dekorasi, melainkan bentuk pengingat bahwa kemajuan harus tetap berpijak pada akar budaya. Dalam pandangan Dedi, budaya lokal adalah fondasi dari nasionalisme sejati.
Selain itu, konsep “Hirup Sauyunan” juga Dedi terapkan dalam politik kemanusiaan. Ia selalu menolak politik yang memecah belah. Bagi Dedi, perbedaan adalah kekayaan, bukan ancaman. Ia percaya bahwa pemimpin harus bisa menjadi jembatan, bukan tembok. Dalam setiap perbedaan pandangan, Dedi selalu mencari titik temu, bukan mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Ia juga kerap berbicara tentang keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan sosial. Bagi Dedi, hidup tidak hanya soal materi, tetapi juga soal makna. Ia sering mengatakan bahwa manusia modern terlalu sibuk mengejar dunia, sampai lupa menghargai keheningan dan kesederhanaan. Dengan menjaga hubungan baik dengan alam dan budaya, seseorang bisa menemukan ketenangan batin yang sejati.
“Hirup Sauyunan” bagi Dedi bukan sekadar semboyan, tapi cara hidup. Ia menunjukkan bahwa keharmonisan bisa diwujudkan lewat tindakan sederhana — menanam pohon, tidak membuang sampah sembarangan, menghormati tetangga, hingga melestarikan bahasa daerah. Semua itu adalah bentuk kecil dari cinta terhadap kehidupan.
Kepemimpinan Dedi juga menjadi contoh bagaimana harmoni bisa menjadi strategi pembangunan. Ia membuktikan bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya butuh uang dan teknologi, tapi juga kesadaran sosial dan budaya. Ketika manusia menghormati alam dan budaya, pembangunan akan berjalan lebih adil dan lestari.
Banyak orang menilai bahwa keberhasilan Dedi Mulyadi dalam memimpin bukan karena kekuasaannya, tetapi karena ketulusannya dalam menjalankan filosofi hidup ini. Ia tidak hanya bicara tentang perubahan, tapi benar-benar hidup dalam perubahan itu. Ia memimpin bukan dengan jarak, tapi dengan kedekatan. Ia membangun bukan dengan ego, tapi dengan kebersamaan.
Konsep “Hirup Sauyunan” yang dijalankan Dedi menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Di tengah dunia yang semakin individualistis, nilai ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari persaingan, melainkan dari rasa saling memiliki dan saling mendukung. Alam yang lestari, budaya yang terjaga, dan masyarakat yang harmonis — itulah tiga pilar kehidupan yang ingin Dedi wariskan kepada generasi mendatang.
Pada akhirnya, Dedi Mulyadi mengajarkan bahwa hidup yang seimbang adalah hidup yang bermanfaat. Dengan meneladani konsep “Hirup Sauyunan,” kita bisa belajar untuk lebih menghargai sesama, mencintai alam, dan melestarikan budaya. Karena pada dasarnya, keberhasilan sejati bukan hanya tentang apa yang kita capai, tapi tentang bagaimana kita menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kehidupan itu sendiri.
