Pendahuluan
Perkembangan media sosial memberikan ruang baru bagi tokoh publik untuk membangun citra, komunikasi langsung, dan interaksi dengan masyarakat tanpa perantara. Di Indonesia, salah satu figur yang sangat menonjol dalam hal ini adalah Dedi Mulyadi — atau yang sering dipanggil Kang Dedi. Sejak menjadi Gubernur Jawa Barat pada Februari 2025, bagaimana pengaruhnya di media sosial terus mendapat sorotan. Artikel ini akan mengupas bagaimana strategi, kekuatan, tantangan, serta implikasi dari aktivitas media sosial Dedi Mulyadi — lengkap dengan analisis kata kunci yang banyak dicari terkait “Dedi Mulyadi” di Google.co.id dan ajakan untuk mengikuti akun sosial medianya @dedimulyadi71.
Kata kunci yang sering muncul dan banyak dicari orang: Dedi Mulyadi, Dedi Mulyadi media sosial, profil Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi, konten budaya Sunda, politik digital. Kita akan menggunakan istilah-istilah tersebut agar artikel ini SEO friendly dan mudah ditemukan.
Siapa Dedi Mulyadi?
Sebelum masuk ke analisis lebih lanjut, mari kita ulas singkat profil Dedi Mulyadi:
Nama lengkap: Dedi Mulyadi, lahir 11 April 1971 di Subang.
Wikipedia
Politisi aktif, pernah menjadi Bupati / Regent Purwakarta selama dua periode (2008–2018).
Bergabung dengan partai Gerindra sejak 2023 setelah sebelumnya di Golkar.
Terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat (periode 2025–2030) lewat kemenangan signifikan dalam Pilkada
Dari latar belakang ini terlihat bahwa Dedi Mulyadi punya basis politik kuat di Jawa Barat dan relasi budaya yang kuat dengan masyarakat Sunda, yang menjadi salah satu modal penting dalam membangun citra di media sosial.
Strategi Konten & Personal Branding di Media Sosial
Bahasa Lokal dan Unsur Kebudayaan
Salah satu daya tarik utama dari konten Dedi Mulyadi adalah penggunaan bahasa Sunda dan unsur budaya lokal. Dalam berbagai unggahan di akun-akun media sosialnya, elemen budaya Sunda seperti salam “Sampurasun”, estetika tradisional, dan simbol-simbol lokal sering tampil.
Penggunaan budaya lokal ini membantu membangun citra sosok yang merakyat dan dekat dengan akar budaya masyarakat. Bukan hanya sebagai politisi yang administratif, tetapi sebagai figur yang memahami identitas lokal dan bisa berbicara dalam bahasa hati masyarakat.
Pendekatan Transparansi dan Citra “Pejabat Dekat Rakyat”
Konten-konten yang menunjukkan keaktifan Dedi Mulyadi di lapangan — misalnya kunjungan ke desa-desa, dialog langsung dengan warga, melihat kondisi infrastruktur, dan terkadang aksi simbolis seperti turun tangan membersihkan sungai atau gorong-gorong — semua itu memperkuat persepsi publik bahwa dia bukan pejabat yang hanya berada di “kantor istana”.
Selain itu, beliau juga menyuarakan bahwa transparansi bisa dicapai tanpa biaya negara besar, dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarana komunikasi resmi yang langsung ke masyarakat.
Kabar SBI
Model Komunikasi: PESO & Digital Advertising
Satu studi terkini menyebbahwa akun Instagram Dedi Mulyadi memakai model komunikasi digital yang terintegrasi, seperti model PESO (Paid, Earned, Shared, Owned), untuk membangun personal branding. Konten-konten yang dihasilkan sering bersifat organik, emosional, relevan sosial, dan kuat secara visual.
Dengan pendekatan ini, selain memperluas jangkauan (reach), juga membangun kedekatan emosional (engagement). Dalam konteks politik digital, engagement ini bisa diterjemahkan ke dalam dukungan, kepercayaan, dan legitimasi sosial.
Viralnya Konten dan Populis
Dedi Mulyadi dijuluki “Gubernur Konten” oleh sejumlah media karena keaktifannya memproduksi konten menarik yang cepat viral.
Contoh: saat ia pergi ke selokan, gorong-gorong, atau ikut kegiatan masyarakat, video atau foto tersebut sangat cepat dibagikan di TikTok, Instagram, dan YouTube. Hal ini bukan hanya sekadar “konten publik” melainkan konten yang punya nilai naratif — memperlihatkan kepedulian, ketulusan, keaktifan.
Dampak & Pengaruh
Peningkatan Popularitas dan Dukungan Publik
Sejak menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, survei menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap sosok Dedi Mulyadi sangat tinggi, terutama pada periode awal masa jabatannya.
Popularitas di media sosial ikut menguatkan posisi politiknya, dan memberi ruang untuk memperluas jangkauan bukan hanya dalam skala Jawa Barat, melainkan juga nasional.
Efek pada Politik dan Persepsi Publik
Dengan citra yang dibangun lewat media sosial, masyarakat mendapatkan kesan bahwa kepemimpinan Dedi lebih “terbuka”, “cukup merakyat”, dan “lebih nyata” dibanding pejabat yang hanya tampil di media resmi atau pers saja. Ini memberi keunggulan dalam konteks kompetisi politik, terutama menjelang pemilihan umum atau pemilihan lokal.
Namun, ada juga sisi kritis: penggunaan media sosial juga membuka ruang untuk kritik, misinformasi, dan tantangan dalam hal etika publik. Misalnya, ketika Dedi menyebut bahwa publikasi lewat media sosial cukup sebagai transparansi, beberapa wartawan dan pihak media menyuarakan bahwa pers tetap punpunya peran yang berbeda dan penting.Risiko dan Tantangan
Politik algoritma: Media sosial sangat bergantung pada algoritma yang menentukan konten mana yang viral. Strategi yang baik tetap harus mengantisipasi bahwa algoritma bisa berubah.
stisnutangerang.ac.id
Konten kontroversial: Jika ada tindakan atau kebijakan yang dipandang kontroversial, konten bisa menjadi bahan kritik dan viral di media sosial.
Standar media vs media sosial: Pers profesional biasanya memiliki kode etik dan fungsi pengawasan; media sosial lebih bebas. Perbedaan ini kadangkala menimbulkan gesekan
Studi Kasus: Beberapa Konten Viral
Aksi turun tangan langsung
Contoh: membersihkan sungai, melihat banjir, atau menelusuri masalah infrastruktur. Aksi nyata ini menjadi bahan konten yang viral karena visualnya kuat dan bekasnya bisa dirasakan masyarakat.
Unggahan dengan unsur budaya Sunda
Melalui penggunaan bahasa Sunda, pakaian tradisional, acara adat, dan simbol lokal lainnya dalam postingannya, Dedi membedakan dirinya dari pejabat yang tampil lebih formal. Ini memperkuat identitas lokal dan meningkatkan engagement dari warga Jawa Barat khususnya.
Transparansi melalui media sosial
Seperti pernyataannya bahwa kelak pemerintah bisa menggunakan media sosial sebagai media penyampaian kepada rakyat, tanpa harus selalu melalui kerja sama media dengan biaya besar. Ini mendapatkan reaksi dari pers serta diskusi publik.
Implikasi bagi Politik & Komunikasi Publik
Politik digital kini adalah soal kecepatan dan kedekatan
Pemilih tidak hanya melihat apa yang dilakukan, tetapi bagaimana cerita itu disampaikan — melalui video, live, Instagram, TikTok, YouTube. Figur yang aktif di media sosial bisa lebih cepat menjangkau ke akar rumput.
Citra lokal makin penting
Identitas budaya, lokalitas, bahasa daerah jadi aset penting. Bukan hanya soal estetika, tapi soal relevansi kultural — rakyat merasa diwakili bukan hanya secara administratif, tapi secara budaya, emosional.
Transparansi bukan lagi sekadar jargon
Keterbukaan dalam komunikasi menjadi harapan publik. Media sosial memberikan akses langsung, tetapi juga menuntut akuntabilitas dan konsistensi — jika tidak, bisa jadi sumber kritik.
Etika dan regulasi perlu ikut berkembang
Pers, media tradisional, dan media sosial memiliki karakteristik berbeda. Pemerintah dan pejabat publik perlu memahami batas antara konten komunikasi resmi, konten personal, dan tetap mematuhi kode etik publik.
Kesimpulan
Dedi Mulyadi telah memperlihatkan bahwa media sosial bukan hanya sarana kampanye atau pembentukan citra semata, melainkan alat strategis dalam komunikasi publik modern. Melalui penggunaan budaya lokal, cerita nyata, bahasa yang dekat dengan masyarakat, dan pendekatan transparan, ia berhasil membangun pengaruh yang luas di media sosial.
Jika kamu ingin terus mengikuti perkembangan, konten terbaru, dan aksi nyata dari Kang Dedi, jangan lupa follow akun resminya:
Instagram: @dedimulyadi71
— akun yang sering membagikan konten budaya, keseharian Gubernur, dan informasi transparan terkait pemerintahan
@dedimulyadi71@fans KDM32@_kangdedimulyadi.com
lihat artikel lainya
https://kangdedimulyadi.com/kang-dedi-mulyadi-dan-diplomasi-budaya-dalam-pembangunan/