spot_img
Wednesday, October 22, 2025
More
    spot_img
    HomeArtikelDedi Mulyadi dan Seni Kepemimpinan Berbasis Budaya Sunda

    Dedi Mulyadi dan Seni Kepemimpinan Berbasis Budaya Sunda

    -

    Pendahuluan
    Kepemimpinan bukan sekadar tentang jabatan atau kekuasaan, melainkan tentang cara memaknai kehidupan dan mengarahkan manusia menuju nilai-nilai yang luhur. Di tengah gaya kepemimpinan modern yang sering kehilangan sentuhan moral dan budaya, Dedi Mulyadi tampil sebagai sosok yang mengembalikan akar budaya Sunda ke panggung pemerintahan. Ia tidak hanya memimpin dengan kebijakan, tetapi juga dengan rasa, adat, dan filosofi lokal.

    Budaya Sunda Sebagai Pondasi Kepemimpinan
    Dalam pandangan Dedi, budaya Sunda bukan sekadar warisan masa lalu, tapi pedoman moral bagi masa depan. Nilai-nilai seperti someah hade ka semah (ramah terhadap tamu), silih asah, silih asih, silih asuh (saling mengasah, mengasihi, dan mengasuh) menjadi roh yang menjiwai setiap kebijakannya. Ia percaya bahwa jika pemimpin berpegang pada nilai-nilai itu, maka masyarakat akan hidup dalam harmoni dan kesejahteraan.

    Kepemimpinan yang Dekat dengan Rakyat
    Ciri khas kepemimpinan Dedi adalah kedekatannya dengan rakyat. Ia lebih suka berdialog langsung dengan masyarakat daripada bersembunyi di balik protokol. Ia turun ke sawah, berdiri di pinggir jalan, dan berbicara dengan pedagang atau petani tanpa sekat. Gaya ini bukan pencitraan, tapi wujud nyata dari filosofi Sunda: ngarawat rahayat — menjaga rakyat dengan kasih sayang.

    Memadukan Tradisi dan Modernitas
    Dedi mampu memadukan nilai-nilai tradisional dengan semangat modern. Ia membangun infrastruktur dan teknologi, tapi tanpa mengorbankan jati diri budaya. Misalnya, saat membangun ruang publik, ia selalu menambahkan elemen seni tradisional seperti patung wayang, ukiran bambu, atau arsitektur bergaya Sunda. Ia ingin agar setiap pembangunan fisik juga menjadi ruang edukasi budaya.

    Seni dan Simbol dalam Pemerintahan
    Di Purwakarta, kepemimpinan Dedi dikenal sarat dengan simbol budaya. Patung-patung tokoh pewayangan seperti Gatotkaca, Arjuna, dan Semar berdiri megah di berbagai sudut kota. Namun maknanya tidak sekadar estetika — ia ingin masyarakat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam setiap tokoh itu. Semar, misalnya, melambangkan kebijaksanaan, kesederhanaan, dan cinta rakyat. Nilai-nilai inilah yang menurut Dedi harus dimiliki oleh setiap pemimpin.

    Bahasa Sunda Sebagai Identitas Moral
    Dedi sangat mencintai bahasa Sunda. Ia sering menggunakan bahasa daerah dalam pidatonya, bukan untuk menunjukkan kedaerahan, tapi sebagai bentuk penghormatan terhadap akar budaya. Baginya, bahasa adalah cermin kepribadian. Dengan menjaga bahasa, berarti menjaga moral dan rasa malu. Ia mengajarkan bahwa pemimpin yang baik adalah yang mampu berbicara dengan bahasa rakyatnya, bukan dengan bahasa kekuasaan.

    Menghidupkan Kesenian Lokal
    Salah satu langkah konkret Dedi adalah menghidupkan kembali kesenian tradisional yang mulai dilupakan. Ia memberikan ruang bagi seniman lokal untuk tampil, bahkan menjadikan mereka bagian dari agenda resmi pemerintah. Wayang golek, jaipongan, hingga karinding kembali mendapat tempat di hati masyarakat. Ia percaya, bangsa yang menghargai seni adalah bangsa yang masih memiliki hati.

    Kepemimpinan dengan Rasa dan Estetika
    Bagi Dedi, estetika adalah bagian dari moralitas. Ia menilai bahwa keindahan lingkungan akan melahirkan ketenangan batin masyarakat. Karena itu, ia menata kota dengan konsep yang indah namun bermakna. Ia menolak kesemrawutan dan kebisingan, karena kedamaian batin rakyat juga bagian dari tugas pemimpin. “Kalau lingkungan indah, hati manusia pun ikut lembut,” begitu katanya.

    Nilai Religius dalam Budaya Sunda
    Meski dikenal sebagai tokoh budaya, Dedi tidak memisahkan nilai agama dari kebudayaan. Ia percaya bahwa budaya Sunda sejatinya mengandung nilai-nilai ketuhanan yang tinggi. Prinsip hormat ka Gusti jeung ka sasama manusa (hormat kepada Tuhan dan sesama manusia) menjadi landasan etika yang selalu ia tanamkan. Maka, baginya, menjaga budaya sama dengan menjaga moral bangsa.

    Kesimpulan
    Dedi Mulyadi telah menunjukkan bahwa kepemimpinan bisa menjadi karya seni — bukan hanya mengatur, tetapi juga menginspirasi. Ia memimpin dengan rasa, bukan amarah; dengan budaya, bukan birokrasi. Dalam setiap kebijakan, ia menyisipkan nilai-nilai luhur Sunda yang membuat pemerintahan terasa manusiawi dan berjiwa.

    Di tengah zaman yang serba cepat dan individualistis, Dedi mengingatkan kita bahwa pemimpin sejati bukan yang paling kuat, melainkan yang paling mampu merawat nilai-nilai. Kepemimpinan berbasis budaya yang ia tunjukkan adalah warisan penting untuk generasi muda — bahwa modernitas tanpa akar budaya hanyalah bangunan tanpa fondasi.

    Related articles

    Stay Connected

    0FansLike
    0FollowersFollow
    0FollowersFollow
    0SubscribersSubscribe
    spot_img

    Latest posts