Pendahuluan
Dalam era pembangunan modern yang sering kali menyingkirkan nilai-nilai budaya dan lingkungan, hadir sosok Kang Dedi Mulyadi sebagai pemimpin yang berpikir berbeda. Ia tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga berupaya menyatukan alam dan budaya sebagai fondasi utama pembangunan berkelanjutan.
Filosofi hidupnya yang berpijak pada nilai-nilai Sunda seperti silih asih, silih asah, silih asuh menjadi dasar dalam setiap kebijakan dan tindakannya. Dedi ingin masyarakat Jawa Barat maju secara ekonomi tanpa kehilangan identitas budaya dan keharmonisan dengan alam.
Pembangunan yang Tidak Merusak Alam
Bagi Dedi, kemajuan tidak boleh mengorbankan alam. Ia percaya bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan yang saling membutuhkan.
Selama menjabat, Dedi dikenal sering menolak proyek pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan. Ia juga aktif mengkampanyekan pentingnya menanam pohon, menjaga sumber air, dan melestarikan keanekaragaman hayati.
Ia tidak segan menegur atau bahkan menghentikan kegiatan industri yang terbukti mencemari lingkungan. Semua ini dilakukan bukan untuk kepentingan politik, tetapi demi masa depan bumi yang layak untuk anak cucu.
Konsep Ekologi dalam Kepemimpinan
Dedi memperkenalkan pendekatan ekologi sosial, di mana pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan kelestarian lingkungan berjalan beriringan.
Ia sering mengatakan bahwa manusia seharusnya tidak menjadi “tuan” atas alam, melainkan “bagian dari ekosistem”.
Contoh nyata penerapan konsep ini adalah kebijakan penghijauan di kawasan perkotaan Purwakarta serta pembangunan taman-taman publik yang memadukan unsur alami dan estetika budaya Sunda.
Menghidupkan Kembali Identitas Budaya Sunda
Dedi juga memahami bahwa budaya merupakan kekuatan moral dan sosial. Dalam setiap pembangunan, ia berusaha menanamkan unsur budaya lokal agar masyarakat tidak tercerabut dari akar identitasnya.
Desain taman, gapura, dan ruang publik di Purwakarta banyak menampilkan simbol-simbol budaya Sunda.
Ia juga menghidupkan tradisi seperti Ngahiji, Mapag Dewi Sri, dan berbagai kesenian rakyat untuk memperkuat rasa cinta masyarakat terhadap warisan leluhur.
Melalui pendekatan ini, Dedi mengajarkan bahwa kemajuan bukan berarti meniru budaya luar, tetapi mengembangkan yang sudah ada dengan cara modern.
Harmoni antara Alam, Manusia, dan Budaya
Dalam banyak kesempatan, Dedi menggambarkan visi Jawa Barat sebagai daerah yang harmonis — bukan hanya secara fisik, tetapi juga spiritual.
Ia ingin setiap pembangunan mencerminkan keseimbangan antara alam dan budaya. Misalnya, saat membangun jembatan atau taman, ia menekankan pentingnya desain yang memperhatikan kontur tanah, vegetasi, dan keindahan alami, bukan sekadar fungsionalitas.
Menurutnya, lingkungan yang indah dan seimbang akan melahirkan masyarakat yang bahagia dan produktif.
Pendidikan Lingkungan Berbasis Budaya
Dedi tidak hanya membangun secara fisik, tetapi juga membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya alam.
Ia sering menggelar kegiatan edukasi lingkungan yang dikemas dengan cara unik — seperti pentas seni, dongeng Sunda, atau kegiatan menanam pohon bersama anak-anak sekolah.
Dengan cara ini, ia menanamkan nilai-nilai cinta lingkungan sejak dini tanpa terasa menggurui.
Budaya sebagai Arah Pembangunan Sosial
Selain lingkungan, Dedi percaya budaya bisa menjadi solusi berbagai masalah sosial.
Misalnya, ia menghidupkan kembali gotong royong dan kesenian rakyat sebagai cara mempererat hubungan antarwarga.
Kegiatan budaya bukan hanya hiburan, tetapi sarana memperkuat solidaritas, identitas, dan kebanggaan terhadap daerah sendiri.
Pendekatan ini membuat masyarakat merasa terlibat dan memiliki tanggung jawab bersama terhadap kemajuan daerah.
Menjadikan Alam dan Budaya Sebagai Sumber Ekonomi
Dedi juga memandang bahwa alam dan budaya bisa menjadi sumber ekonomi jika dikelola dengan bijak.
Ia mendorong desa wisata berbasis budaya dan ekologi, di mana masyarakat menjadi pelaku utama.
Program ini tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga menjaga kelestarian alam dan tradisi.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi bisa berjalan tanpa merusak nilai-nilai yang sudah ada.
Kepemimpinan yang Filosofis dan Membumi
Salah satu hal yang membuat Dedi berbeda adalah cara berpikirnya yang filosofis namun tetap membumi.
Ia sering menyampaikan pesan moral melalui simbol-simbol alam, seperti pohon, air, dan tanah.
Bagi Dedi, seorang pemimpin harus bisa membaca tanda-tanda alam dan menyesuaikan kebijakannya dengan keseimbangan semesta.
Inilah yang membuatnya dikenal sebagai pemimpin berkarakter humanis dan ekologis.
Kesimpulan
Kang Dedi Mulyadi bukan sekadar pemimpin daerah, melainkan sosok yang membawa gagasan besar tentang bagaimana membangun manusia, alam, dan budaya secara seimbang.
Ia membuktikan bahwa pembangunan tidak harus berbenturan dengan lingkungan, dan modernisasi tidak harus menghapus identitas lokal.
Melalui kebijakan yang berpihak pada alam dan budaya, Dedi telah meninggalkan warisan berharga bagi Jawa Barat — sebuah teladan tentang bagaimana membangun masa depan dengan menghormati masa lalu.
Kepemimpinannya menjadi contoh bahwa kemajuan sejati bukan hanya tentang gedung dan jalan, tetapi tentang hubungan harmonis antara manusia, alam, dan nilai-nilai budaya yang hidup di dalamnya.

