Pendahuluan
Dalam lanskap politik dan komunikasi publik di Indonesia, nama Dedi Mulyadi kini semakin mencuat. Ia dikenal bukan hanya sebagai Gubernur Jawa Barat sejak Februari 2025, tetapi sebagai figur yang mampu menggabungkan budaya lokal, agama, dan gaya komunikasi persuasif yang kuat. Banyak yang bertanya: mengapa kata-katanya sangat kuat? Apa yang membuat pidatonya, pernyataannya, atau postingannya di media sosial terasa menyentuh, mengena, dan cepat diterima oleh publik?
Artikel ini akan melakukan analisis retorika Dedi Mulyadi berdasarkan berbagai studi terkini, teori retorika klasik, dan pengamatan atas gaya komunikasi politik Dedi Mulyadi. Tujuannya: membantu pembaca memahami elemen-elemen yang menjadikan kata-katanya kuat, sekaligus memberikan insight bagi siapa pun yang tertarik dengan komunikasi politik, retorika profetik, atau kepemimpinan berbasis budaya lokal.
Siapakah Dedi Mulyadi?
Sebelum masuk ke retorika, penting memahami latar belakangnya:
Dedi Mulyadi adalah politisi Indonesia, sekarang menjabat Gubernur Jawa Barat (2025–2030).
Wikipedia
Sebelumnya menjadi Bupati Purwakarta dua periode (2008–2018), dan aktif di partai Golkar, kemudian pindah ke Gerindra.
Identitas budayanya sangat kuat: ia dikenal mempromosikan budaya Sunda, lokalitas, kearifan lokal, dan menggabungkannya dengan nilai-nilai agama Islam
Identitas ini penting karena retorika tidak berdiri di udara: kata-kata yang kuat muncul dari akar budaya, pengalaman, karakter pemimpin, serta cara komunikasi yang autentik dan dekat dengan masyarakat.
Dasar-Dasar Retorika: Ethos, Pathos, Logos
Sebelum menganalisis gaya khusus Dedi Mulyadi, mari kita singkat kembali teori retorika klasik yang kerap digunakan dalam studi gaya komunikasi politik:
Ethos → kredibilitas pembicara; bagaimana publik percaya kepada siapa yang berbicara.
Pathos → daya emosional; bagaimana pembicara menyentuh perasaan audiens, membangun empati, kesamaan pengalaman.
Logos → argumen logis; fakta, data, alasan yang masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam studi “Gaya Komunikasi Politik Persuasif Gubernur Dedi Mulyadi”, ditemukan bahwa ketiga unsur ini sangat dominan dalam cara bicara dan pidatonya.
Retorika Profetik dan Nilai-nilai Moral
Salah satu studi terbaru berjudul Analisis Retorika Profetik dalam Pidato Dedi Mulyadi menyebutkan bahwa pidatonya mengandung nilai-nilai seperti ethos, pathos, logos, sekaligus nilai-nilai moral seperti kemanusiaan, pembebasan, dan transcendensi.
Jurnal Online Universitas Jambi
Retorika profetik di sini berarti gaya bicara yang bukan hanya menjual janji politik, tetapi mengajak masyarakat kepada refleksi moral, keadilan, perubahan yang lebih baik, dll. Gaya ini membuat kata-katanya terasa bukan sekadar suara politis, tetapi juga panggilan moral, yang “menggetarkan” dan memotivasi
Retorika Konfesional-Populis: Kekuatan dan Tantangannya
Salah satu gaya yang banyak diamati dalam komunikasi Dedi Mulyadi adalah retorika konfesional-populis. Artinya:
Ia mengakui bahwa ia adalah bagian dari masyarakat (bahwa ia “hidup bersama rakyat”).
Ia menyatakan bahwa kesalahan bukan hanya dari elit tetapi ada juga dari rakyat, membangun kesan kedekatan dan tanggung jawab bersama.
Retoria.id – Merawat Akal Sehat
Pendekatan ini cenderung menyentuh, karena mengurangi jarak antara pemimpin dan yang dipimpin secara emosional.Kekuatan:
Memperkuat hubungan emosional publik terhadap pemimpin.
Menampilkan citra pemimpin yang rendah hati, merakyat.
Dapat meningkatkan legitimasi dan kepercayaan sosial.
Tantangan / Kritik:
Ada potensi terjadinya fallacy logis — misalnya generalisasi yang terlalu luas, atau relativisasi dari tanggung jawab pemimpin.
Retoria.id – Merawat Akal Sehat
Publik mungkin menuntut konsistensi: jika tindakan nyata tidak sesuai dengan kata-kata, citra bisa runtuh.
Retorika yang emosional bisa diperosotkan efeknya jika dianggap manipulatif atau berlebihan.
Kasus-Kasus Nyata: Mengapa Kata-Katanya “Gurih” di Publik
Mari kita lihat beberapa contoh yang memperjelas kenapa kata-kata Dedi Mulyadi terasa kuat:
Kebijakan lokal yang berakar budaya. Ia mempromosikan nilai-nilai Sunda, misalnya salam “sampurasun”, penggunaan bahasa Sunda dalam acara resmi, menjaga warisan budaya, simbol-simbol Sunda. Hal-hal ini bukan hanya estetika, tetapi membantu menciptakan identitas bersama antara pemerintah dan masyarakat. Perasaan bahwa pemerintah “memahami budaya kita” membuat kata-katanya lebih diyakini.Bahasa sederhana, namun penuh muatan makna. Alih-alih pidato yang penuh istilah teknis, ia memakai kata-kata yang bisa dipahami dunia pergerakan rakyat kecil, petani, pemulung, pedagang kaki lima. Contoh: menyebut “wong cilik”, menyentuh persoalan banjir, kemiskinan, jalan rusak — hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Narasi moral yang menggugah. Retorika profetiknya sering menyerukan keadilan, amanah, pemerintahan yang bersih, tanggung jawab sosial. Publik merespons positif ketika ungkapan moral ini ditemui daladalam tindakan nyata. Misalnya, studi leadership-nya menunjukkan bahwa ia mencoba menggabungkan nilai keadilan, amanah, shura dalam kebijakan.
Research Synergy Press Journals
Publikasi dan media sosial sebagai panggung retorikanya. Ia memanfaatkan Instagram, YouTube, dan media lainnya untuk menyebarkan konten yang memadukan visual, bahasa emosional, dan penggunaan simbol budaya. Narasi yang dibangun di media sosial tersebut seringkali lebih viral dan lebih cepat menyebar. Studi tentang Instagram-nya menunjukkan bahwa ia menggunakan narasi emosional, visual kuat, dan bahasa lokal serta budaya Sunda Buhun.Credibilitas lewat jejak kebijakan nyata. Sebagai mantan Bupati Purwakarta dan sekarang Gubernur Jawa Barat, aktivitasnya dapat dilihat langsung oleh publik — misalnya pembangunan infrastruktur, kebijakan lingkungan, larangan-larangan atau penataan ruang yang punya dampak nyata. Ketika publik melihat bahwa kata-kata disusul aksi, retorika menjadi lebih kredibel.Mengukur Dampak: Apakah Gaya Retorika-nya Benar-benar Berpengaruh?
Kekuatan retorika bukan hanya soal kata, tetapi soal efeknya terhadap opini publik, pilihan politik, kepuasan warga, dan legitimasi. Berikut beberapa ukuran dampak gaya kata-katanya:
Polling dan dukungan publik: Contohnya, ia memenangkan Pilkada Jawa Barat 2024 dengan persentase suara besar (sekitar 62%) terhadap rivalnya.
Citra kepemimpinan yang diwariskan: Studi “Leadership Style as Governor of West Java: Between Sundanese Culture and Islamic Law” menyebut bahwa banyak masyarakat melihat dia sebagai figur yang inklusif, humanistik, dan mampu menjembatani budaya tradisional dan agama.Respon terhadap kebijakan kontroversial: Beberapa kebijakan yang memicu perdebatan (misalnya pengiriman siswa bermasalah ke TNI untuk pembinaan, atau larangan kegiatan budaya tertentu) menjadi peluang retorikanya diuji. Bagaimana ia merespons kritik lalu bagaimana publik meresponsnya, menunjukkan kekuatan retorika sebagai alat mengelola persepsi.Keaktifan di media sosial: Di era digital, pesan yang kuat sering viral; penggunaan bahasa visual + kultur lokal + narasi emosional membuat kontennya mendapatkan engagement tinggi. Studi pada akun Instagram-nya (dedimulyadi71) menunjukkan strategi branding yang efektif.Potensi Kelemahan & Risiko
Walau kata-katanya kuat, ada beberapa aspek yang perlu diwaspadai:
Ekspektasi publik meningkat
Bila retorika tinggi tapi realisasi rendah atau terlambat, hal ini bisa memicu kekecewaan. Publik akan mulai melihat apakah janji diikuti tindakan nyata.
Kritik dan oposisi politik
Gaya konfesional-populis bisa diserang sebagai “untuk gaya saja,” atau “berlebihan emosional”. Ada risiko bahwa lawan akan menuduh adanya manipulasi atau “memberi gambaran ideal” yang tidak seutuhnya nyata.Batas antara budaya lokal dan hak universal
Kadang kebijakan berbasis budaya bisa tabrakan dengan norma HAM atau keanekaragaman budaya. Misalnya, aturan berpakaian khas atau norma sosial budaya tertentu jika dipaksakan bisa menimbulkan kontroversi. Studi juga menyebutkan bahwa kebijakan sosio-kulturalnya pernah mendapat kritik dari sudut hak konstitusionalPotensi kehilangan kesederhanaan
Jika terlalu banyak simbol, terlalu banyak retorika budaya, bisa jadi publik merasa kurang relevan dalam masalah sehari-hari yang lebih praktis: ekonomi, lapangan kerja, transportasi, dll.
Mengapa “Kata-Katanya Sangat Kuat”?
Setelah semua elemen di atas, jawaban mengapa kata-kata Dedi Mulyadi sangat kuat bisa dirangkum dalam beberapa poin:
Keselarasan antara identitas, budaya, dan moral: ia bukan hanya ngomong budaya lokal atau agama sebagai hiasan — ia benar-benar menggabungkannya ke dalam identitas kepemimpinan yang publik bisa kenali dan rasakan.
Bahasa yang mendekatkan: penggunaan bahasa lokal, cerita rakyat, analogi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, membuat pesan tidak abstrak tapi nyata.
Kejujuran dan transparansi retoris: ia sering mengakui batasnya, orang lain juga salah, bahwa rakyat juga punya bagian tanggung jawab — ini membuat dia terkesan jujur dan merakyat, bukan tokoh yang terlalu “bersih” tapi jauh dari realitas.
Konteks lokal yang mendukung: masyarakat Jawa Barat mempunyai budaya Sunda yang kuat; ada nilai-nilai lokal yang sudah tertanam. Retorika yang menggunakan budaya lokal punya resonansi lebih besar di wilayah seperti Jawa Barat.
Konsistensi antara kata dan tindakan: ketika publik melihat bahwa apa yang dikatakan Dedi Mulyadi diikuti kebijakan nyata, citranya menebal; ketika ada gap, publik cepat tanggap dan mengkritik.Implikasi Untuk Komunikator / Pemimpin Lain
Dari analisis retorika Dedi Mulyadi, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil oleh pemimpin, komunikator politik, atau siapa pun yang ingin membuat kata-kata mereka lebih kuat:
Kenali audiens dengan budaya dan nilai-nilai lokal. Memahami latar budaya, norma, simbol-simbol lokal akan memperkuat resonansi pesan.
Gunakan bahasa yang manusiawi dan konkret. Hindari jargon yang terlalu teknis jika tujuan Anda adalaadalah menyentuh hati dan pikiran publik umum.
Bangun kredibilitas lewat tindakan nyata. Retorika tanpa realisasi bisa jadi boomerang.
Kombinasikan moralitas dalam pesan Anda. Nilai keadilan, amanah, tanggung jawab bisa jadi kekuatan emosional yang besar.
Memanfaatkan media digital dengan cerdas. Visual, estetika, interaksi, storytelling di media sosial bisa memperluas jangkauan dan membuat pesan lebih mudah dicerna dan dibagikan.
Analisis retorika Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa kata-katanya sangat kuat bukan karena satu faktor tunggal, melainkan kombinasi:
identitas budaya lokal yang autentik
retorika profetik yang menyentuh moral publik
ethos yang dibangun dari pengalaman dan tindakan nyata
penggunaan bahasa dan simbol yang dekat dengan masyarakat umum
keberanian tampil sebagai pemimpin merakyat, yang mengakui ketidaksempurnaan, dan mengajak rakyat sebagai bagian dari solusi.Jika kamu tertarik untuk terus mengikuti gaya komunikasi, pidato, dan aktivitas terbaru dari Dedi Mulyadi, jangan lupa follow media sosial resminya:
Instagram / Twitter / Media Sosial lain: @dedimulyadi71
Ikuti juga konten-konten video, pidato, dan aktivitas sosialnya supaya kamu bisa melihat langsung bagaimana retorika itu diproduksi dan diaplikasikan di lapangan.
@dedimulyadi71@fans KDM@_kangdedimulyadi.com
lihat artikel lainya
https://kangdedimulyadi.com/kang-dedi-mulyadi-dan-keberhasilan-program/