KDM: Simbol Perlawanan terhadap Elitisme Politik
Pendahuluan
Dalam dunia politik Indonesia, istilah elitisme politik sering menjadi perbincangan hangat. Elitisme politik menggambarkan fenomena ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elit, yang sering kali jauh dari denyut nadi kehidupan rakyat. Politik kemudian menjadi panggung eksklusif, penuh dengan kepentingan kelompok tertentu, dan meninggalkan kebutuhan masyarakat kecil.
Namun, di tengah kuatnya budaya elitisme, muncul sosok yang berbeda. Ia adalah Kang Dedi Mulyadi (KDM), seorang politisi asal Jawa Barat yang dikenal dengan kesederhanaannya. Bukan hanya dikenal sebagai pemimpin, KDM juga menjadi simbol perlawanan terhadap elitisme politik.
Dengan gaya kepemimpinan merakyat, blusukan langsung ke lapangan, menjunjung tinggi budaya Sunda, serta komunikasi yang humanis, KDM mampu mendobrak stigma bahwa politik hanyalah milik elit. Artikel ini akan membahas bagaimana perjalanan politik KDM menjadikannya ikon perlawanan terhadap elitisme, serta relevansi kepemimpinannya di tengah masyarakat Jawa Barat dan Indonesia.
—
1. Apa Itu Elitisme Politik?
Sebelum membahas KDM lebih jauh, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan elitisme politik.
Elitisme politik adalah sistem di mana kekuasaan hanya berputar di antara segelintir elit yang memiliki akses ekonomi, pendidikan, atau sosial tertentu. Gejala elitisme politik di Indonesia biasanya tampak dalam bentuk:
Pemimpin lebih sibuk di meja rapat daripada turun langsung ke lapangan.
Kebijakan yang dibuat lebih menguntungkan kelompok elit daripada masyarakat luas.
Jarak yang sangat jauh antara penguasa dengan rakyat kecil.
Politik identik dengan kemewahan, bukan pengabdian.
Fenomena ini sudah lama menjadi masalah, terutama di daerah-daerah yang kompleks seperti Jawa Barat.
—
2. Latar Belakang Sederhana KDM
KDM lahir dari keluarga sederhana. Latar belakang ini membentuk kepribadiannya yang membumi dan dekat dengan masyarakat. Ia tumbuh besar dengan nilai-nilai tradisi Sunda yang kental, di mana gotong royong, kesederhanaan, dan kepedulian sosial menjadi bagian penting kehidupan sehari-hari.
Saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, KDM menunjukkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Ia tidak sekadar duduk di balik meja, melainkan benar-benar hadir di tengah masyarakat. Kesederhanaan ini menjadi daya tarik utama, sekaligus titik awal mengapa ia disebut sebagai simbol anti-elitisme.
—
3. Blusukan Ala KDM: Politik yang Membumi
Elitisme menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat. KDM justru melawan hal ini dengan blusukan rutin.
Blusukan yang dilakukan KDM bukan pencitraan, melainkan upaya nyata untuk mendengar aspirasi masyarakat tanpa perantara birokrasi. Ia turun langsung ke sawah, pasar, sekolah, bahkan ke rumah warga.
Bagi KDM, politik bukan soal jarak, melainkan soal kedekatan. Dengan blusukan, ia menegaskan bahwa seorang pemimpin harus hadir di tengah rakyat, bukan hanya di ruang rapat.
—
4. Kesederhanaan Sebagai Citra Politik
Salah satu kekuatan KDM adalah kesederhanaan yang konsisten. Ia tidak ragu mengenakan pakaian adat Sunda, bersarung, atau berpakaian biasa saat menghadiri kegiatan masyarakat.
Berbeda dengan sebagian elit politik yang lebih sering tampil glamor, KDM menjadikan kesederhanaan sebagai identitas politiknya. Hal ini membuatnya lebih mudah diterima oleh rakyat, karena mereka melihat sosok yang sama sekali tidak berjarak.
—
5. Menjunjung Budaya Sunda
Budaya sering kali diabaikan dalam politik elitis. Namun, KDM justru menjadikan budaya Sunda sebagai bagian penting dalam kepemimpinannya.
Ia mengintegrasikan filosofi Sunda dalam program-program pemerintahannya. Misalnya, lewat penataan kota dengan sentuhan budaya lokal, penggunaan bahasa Sunda dalam komunikasi publik, hingga kebijakan berbasis kearifan lokal.
Dengan cara ini, KDM tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga menolak homogenisasi politik elit yang cenderung meninggalkan akar tradisi.
—
6. Politik Merakyat vs Politik Elitis
Jika dibandingkan, politik ala KDM sangat berbeda dengan politik elitis:
Politik Elitis: eksklusif, penuh kepentingan, jauh dari rakyat.
Politik KDM: inklusif, sederhana, dan membumi.
Inilah alasan mengapa masyarakat melihat KDM sebagai simbol perlawanan terhadap elitisme.
—
7. Peran Media Sosial dalam Melawan Elitisme
Di era digital, elitisme juga terlihat dalam cara komunikasi. Banyak politisi masih menggunakan gaya kaku, formal, dan berjarak.
KDM justru memanfaatkan media sosial sebagai ruang blusukan digital. Melalui akun Instagram @dedimulyadi71, ia membagikan kisah nyata rakyat kecil, aktivitas sehari-harinya, hingga narasi inspiratif tentang kehidupan sosial.
Langkah ini bukan sekadar pencitraan, melainkan cara untuk membuka akses langsung antara pemimpin dan rakyat.
—
8. Humanisme dalam Kepemimpinan KDM
Elitisme sering mengabaikan sisi kemanusiaan. KDM justru menempatkan humanisme sebagai pilar utama.
Ia hadir ketika ada rakyat yang berduka, membantu pedagang kecil yang kesulitan, hingga mendengarkan keluhan masyarakat tanpa sekat. Kepedulian ini membuatnya tidak hanya dipandang sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai “saudara tua” oleh masyarakat Jawa Barat.
—
9. Elektabilitas yang Stabil
Salah satu bukti perlawanan KDM terhadap elitisme adalah stabilitas elektabilitasnya. Meski tidak selalu memegang jabatan politik formal, nama KDM tetap populer di Jawa Barat.
Mengapa? Karena rakyat percaya pada konsistensi gaya kepemimpinannya. Popularitasnya tidak datang dari kampanye semata, melainkan dari kedekatan nyata dengan masyarakat.
—
10. Tantangan Melawan Elitisme
Menjadi simbol perlawanan terhadap elitisme tentu bukan hal mudah. KDM menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
Kritik dari lawan politik yang merasa tersaingi.
Polarisasi politik di Jawa Barat yang semakin tajam.
Harapan rakyat yang sangat tinggi.
Namun, sejauh ini KDM mampu menunjukkan konsistensi, sesuatu yang jarang ditemui dalam politik modern.
—
11. KDM Sebagai Inspirasi Politik Nasional
Model kepemimpinan KDM bisa dijadikan inspirasi di tingkat nasional. Ia membuktikan bahwa:
1. Politik bisa tetap sederhana.
2. Pemimpin harus dekat dengan rakyat.
3. Budaya lokal bisa menjadi fondasi kebijakan.
4. Media sosial bisa dimanfaatkan untuk meruntuhkan sekat elitisme.
—
12. Relevansi di Era Society 5.0
Di era Society 5.0, rakyat semakin kritis terhadap pemimpin. Mereka menolak elitisme yang jauh dari kehidupan sehari-hari.
KDM hadir dengan gaya kepemimpinan yang menggabungkan blusukan fisik dan digital. Hal ini membuktikan bahwa politik humanis masih relevan, bahkan semakin dibutuhkan.
—
Kesimpulan
KDM adalah simbol nyata perlawanan terhadap elitisme politik. Dengan latar belakang sederhana, blusukan konsisten, menjunjung budaya Sunda, memanfaatkan media sosial, dan menempatkan humanisme sebagai inti, ia membangun model politik merakyat yang sulit ditandingi.
Perlawanan ini bukan sekadar wacana, melainkan hadir dalam praktik nyata sehari-hari. Inilah yang membuat KDM dicintai, dihormati, dan tetap relevan meski dinamika politik terus berubah.
—
Ajakan
Jika kamu ingin melihat lebih dekat bagaimana KDM melawan elitisme politik melalui keseharian, gagasan, dan aktivitas merakyatnya, jangan lupa untuk follow Instagram @dedimulyadi71.
Di sana, kamu akan menemukan potret politik yang sederhana, humanis, dan benar-benar berpihak pada rakyat kecil.